1. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion
of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa
selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan
yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia
tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi
kerugian itu.
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada
pengangkut.7 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan
hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam
undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan:
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan:
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
2. Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan
(Based on Fault or Negligence)
3. Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak
(Absolut Liability)
4. Presumtion of non Liability
Dapat dipahami, dalam prinsip ini
jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam
penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan
wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada
pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal
1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum
dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung
pengangkutan.
Dalam KUHD, prinsip ini juga
dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang
menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU
nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang
melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan
dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang
Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pada pengangkutan di laut dengan
menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21
tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini
dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995
tentang pengangkutan udara.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu
dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan
apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan
kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena
peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
4. Presumtion of non Liability
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13
Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya
ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi
terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian
atas benda dalam angkutan
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 tahun 2007 Tentang Perkeretaapian
Pasal 131
(1)
Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib
memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil,
anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia
(2)
Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.
Pasal 132
(1)
Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki
karcis.
(2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan
tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Karcis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian
angkutan orang.
Pasal 133
(1) Dalam
penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian wajib:
a.
mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b.
mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c.
menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang
ditetapkan;
d.
mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan
tarif angkutan kepada masyarakat; dan
e.
mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengumumkan kepada pengguna
jasa apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan
kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan
yang jelas.
Pasal 134
(1) Apabila
terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah
membeli karcis.
(2) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan
sampai dengan batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor
kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, orang tersebut tidak mendapat
penggantian biaya karcis.
(3) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum
batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari harga karcis.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang
mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun
tujuan yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib:
a.
menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau
moda transportasi lain sampai stasiun tujuan; atau
b.
memberikan ganti kerugian senilai harga karcis.
Pasal 141
(1)
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar
biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang
dipilih.
(2) Pengguna
jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan sesuai
dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Surat
angkutan barang merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan
barang.
Pasal 142
(1) Dalam
kegiatan pengangkutan barang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian berwenang untuk:
a.memeriksa
kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
b.menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat angkutan barang; dan
c.melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang akan diangkut
merupakan barang terlarang.
(2) Apabila terdapat barang yang diangkut dianggap membahayakan keselamatan,
ketertiban, dan kepentingan umum, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat
membatalkan perjalanan kereta api.
Pasal 143
(1) Pengguna
jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat
angkutan barang.
(2) Semua biaya
yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan
tanggung jawab pengguna jasa.
UNDANG-UNDANG NOMOR
17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN
Pasal 40
(1) Perusahaan angkutan
di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang
dan/atau barang yang diangkutnya.
(2) Perusahaan angkutan
di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan
jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak
pengangkutan yang telah disepakati.
Pasal 41
(1) Tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat
pengoperasian kapal, berupa:
a. kematian atau lukanya
penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau
rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan
angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak
ketiga.
(2) Jika dapat
membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan
dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
(3) Perusahaan angkutan
di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
UNDANG UNDANG NOMOR 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
Pasal 141
(1) Pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap,
atau luka-luka yangdiakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat
dan/atau naik turun pesawat udara
(2) Ahli waris
atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada
ayat(2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti
kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.
Pasal 142
(1) Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat
menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan
surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut
diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara. Penumpang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang
bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.
Pasal
143
Pengangkut
tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin,
kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan
oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
Pasal
144
Pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi
tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan
udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
Pasal
145
Pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo
yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan
udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut
Pasal
146
Pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada
angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan
teknis operasional.
Pasal
147
(1)
Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
a.
mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi
apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
Pasal
148
Tanggung
jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147
tidak berlaku untuk:
a.
angkutan pos;
b.
angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan
c.
angkutan udara bukan niaga.
0 komentar:
Posting Komentar