Identifikasi Kelima Pertanggung jawaban Berdasarkan UU (Tugas 3)

1.     Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability) 
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu. 
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.7 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan:
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.” 
2.     Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
   Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. 
     Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.

3.      Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.

4.      Presumtion of non Liability 
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan
  UNDANG-UNDANG NOMOR 23 tahun 2007 Tentang Perkeretaapian
Pasal 131

(1)    Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia
(2)    Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 132

(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis.
(2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.

Pasal 133

(1) Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib:
a.       mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b.      mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c.       menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
d.      mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada masyarakat; dan
e.      mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.

(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengumumkan kepada pengguna jasa apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas.

Pasal 134

(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis.

(2) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan sampai dengan batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, orang tersebut tidak mendapat penggantian biaya karcis.

(3) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari harga karcis.

(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib:
a.       menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan; atau
b.      memberikan ganti kerugian senilai harga karcis.

Pasal 141

(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(2) Pengguna jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Surat angkutan barang merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang.

Pasal 142

(1) Dalam kegiatan pengangkutan barang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang untuk:
a.memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
b.menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat angkutan barang; dan
c.melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang akan diangkut merupakan barang terlarang.

(2) Apabila terdapat barang yang diangkut dianggap membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat membatalkan perjalanan kereta api.
Pasal 143

(1) Pengguna jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat angkutan barang.
(2) Semua biaya yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan tanggung jawab pengguna jasa.

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN
Pasal 40

(1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Pasal 41

(1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b.  musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.

(2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

(3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

UNDANG UNDANG NOMOR 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
Pasal 141

(1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yangdiakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara
(2) Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Pasal 142

(1)  Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara. Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.

Pasal 143

     Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

Pasal 144

   Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal 145
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut

Pasal 146

     Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Pasal 147

(1) Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.
a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

Pasal 148

Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
a. angkutan pos;
b. angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan
c. angkutan udara bukan niaga.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.